Hal ini sejalan dengan hasil kajian Sekolah Kajian Strategik dan Global, Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI). Kajian Pranata UI menekankan pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah untuk memperkuat agenda transisi energi hijau pemerintah.
Kebijakan yang mempertimbangkan seluruh faktor dan parameter industri kelapa sawit Indonesia secara ilmiah akan mendukung efektivitas upaya membangun kemandirian energi melalui peningkatan mandatori pencampuran biodiesel dari B40 ke B50.
Sebagai produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia dengan produksi 48,2 juta ton atau 54 persen dari pasokan global menghadapi tantangan signifikan dalam mendukung mandatori biodiesel B50. Kebutuhan produksi domestik diperkirakan harus meningkat hingga 59 juta ton per tahun, sementara proyeksi produksi 2025 hanya mencapai 49,5 juta ton.
Simulasi menunjukkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp172,35 triliun, namun potensi kehilangan devisa akibat turunnya ekspor CPO bisa mencapai Rp190,5 triliun. “Kondisi ini dapat melemahkan neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah. Apalagi harga CPO Indonesia sudah lebih tinggi dibanding minyak nabati lain, mendorong negara importir seperti India beralih ke komoditas pesaing,” ujar Bayu.
Kajian juga menunjukkan kewajiban biodiesel B50 berdampak pada harga domestik. Harga minyak goreng diperkirakan naik hingga 9 persen, sementara Tandan Buah Segar (TBS) meningkat sekitar Rp618 per kilogram akibat permintaan bahan baku biodiesel yang bertambah.
Baik Bayu maupun Pranata UI merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan mempertimbangkan secara seksama kapasitas produksi kelapa sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program ini dapat dirasakan secara menyeluruh.
“Kita perlu keseimbangan antara target energi, ekspor, dan kesejahteraan petani. Sawit Indonesia ini sangat kuat, tidak mungkin kalah, kecuali jika kita sendiri yang membuatnya kalah,” ujar Bayu, yang juga mantan Menteri Perdagangan.