Sekilas.co – Sejak resmi dilantik pada September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menampilkan arah kebijakan fiskal yang berani, progresif, dan sarat ambisi politik-ekonomi. Melalui konsep yang ia populerkan dengan sebutan “Sumitronomics”, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen per tahun, angka yang belum pernah dicapai dalam dua dekade terakhir.
Langkah tersebut menandai pergeseran paradigma dari rezim fiskal sebelumnya yang cenderung berhati-hati dan defisit-averse menuju model kebijakan yang lebih ekspansif. Ia mengusung gagasan injeksi dana besar-besaran, memperluas belanja produktif, dan mendorong stimulus fiskal dalam skala masif untuk mengakselerasi pertumbuhan.
Namun, di balik keberanian itu, kebijakan fiskal Purbaya perlu diuji tidak hanya melalui kacamata ekonomi konvensional atau teori makro klasik, tetapi juga melalui fondasi moral dan ideologis bangsa, yakni Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan kompas normatif yang seharusnya mengarahkan setiap keputusan ekonomi agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan nasional yang merata.
Landasan Filosofis: Dari Pragmatisme Ekonomi Menuju Etika Keadilan Sosial
Pendekatan fiskal Purbaya menunjukkan warna pragmatisme ekonomi yang kuat. Seperti halnya gagasan John Dewey dalam Democracy and Education (1916), Purbaya tampak berpijak pada prinsip bahwa nilai suatu kebijakan diukur dari konsekuensi praktisnya. Dalam konteks ini, keberhasilan diukur melalui percepatan pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan konsumsi masyarakat.
Konsekuensinya, risiko makro seperti potensi depresiasi Rupiah atau kenaikan defisit fiskal dianggap sebagai harga yang wajar untuk membayar hasil ekonomi yang terlihat. Pendekatan ini selaras dengan etika Utilitarianisme sebagaimana dikemukakan oleh John Stuart Mill—bahwa kebijakan terbaik adalah yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Dengan kerangka itu, Purbaya berargumen bahwa pertumbuhan tinggi akan menetes ke bawah (trickle-down effect): menciptakan lapangan kerja baru, memperluas basis pajak, serta meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Namun, dalam bingkai Pancasila, terutama Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, pendekatan semacam itu tidak cukup. Prinsip Pancasila menolak logika ekonomi yang semata-mata bertumpu pada angka pertumbuhan, karena kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari peningkatan produk domestik bruto, melainkan juga dari distribusi hasil pembangunan yang adil.
Menguji Keadilan dalam Kebijakan Fiskal
Keadilan sosial yang diamanatkan oleh Pancasila mengandung makna bahwa pertumbuhan ekonomi harus bersifat inklusif dan berpihak pada kelompok yang paling rentan. Dengan demikian, jika injeksi dana sebesar Rp200 triliun yang direncanakan pemerintah hanya berputar di lingkaran korporasi besar atau proyek padat modal tanpa mekanisme yang efektif untuk menjangkau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), maka kebijakan itu berpotensi melanggar prinsip kekeluargaan dan gotong royong.
Dalam kerangka moral Pancasila, kebijakan fiskal bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi juga alat pemerataan struktural yang menyeimbangkan hubungan antara modal besar, negara, dan rakyat kecil. Karena itu, arah fiskal Purbaya hanya akan bermakna jika keberanian ekonominya disertai komitmen politik yang memastikan setiap rupiah anggaran berkontribusi pada penguatan fondasi sosial bangsa.
Dengan kata lain, “Sumitronomics” akan diuji bukan di tabel pertumbuhan, tetapi di sejauh mana ia mampu mewujudkan keadilan ekonomi yang berjiwa Pancasila, yakni pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.





