sekilas.co – MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai praktik ekspor barang mentah, termasuk sumber daya mineral, serupa dengan metode yang diterapkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada masa penjajahan. Pernyataan ini disampaikan Bahlil saat membuka acara Minerba Convex 2025 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu, 15 Oktober 2025.
Bahlil menekankan bahwa ekspor bahan mentah hanya menguntungkan negara lain, karena nilai tambah dari pengolahan tidak dinikmati oleh Indonesia. “Dulu di zaman VOC, mereka mengambil barang mentah kita, dibawa ke luar, diolah di luar, lalu dijual kembali ke kita. Masak cara-cara lama mau dipakai lagi sekarang? Saya katakan, stop. Kita harus mulai lembaran baru demi kebaikan rakyat dan bangsa,” ujar Bahlil.
Bahlil menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memperkuat hilirisasi mineral, sehingga kekayaan alam Indonesia dapat memberikan nilai tambah di dalam negeri. Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan 18 proyek hilirisasi yang akan dikerjakan oleh Danantara, dengan total investasi mencapai US$18 miliar atau sekitar Rp618 triliun.
Ia optimistis langkah ini dapat mendorong pemerataan ekonomi di seluruh daerah. “Ekonomi kita tidak boleh hanya tumbuh di Jakarta, tapi juga di daerah. Caranya adalah dengan hilirisasi,” ujarnya.
Sebagai contoh, ia menyoroti keberhasilan hilirisasi sektor nikel. Setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah dan mewajibkan pengolahannya di dalam negeri, nilai ekspor nikel meningkat secara signifikan. “Nilai ekspor nikel kini mencapai US$35 miliar hingga US$40 miliar pada 2023–2024, naik hampir sepuluh kali lipat dibanding sebelum hilirisasi,” jelas Bahlil.
Meski pemerintah menilai hilirisasi membawa manfaat ekonomi, kebijakan ini mendapat kritik dari sejumlah pihak. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menilai hilirisasi nikel justru mengabaikan keselamatan ekologis serta hak masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Ekspansi tambang nikel, yang sebagian besar berada di pulau kecil, menyebabkan kerusakan lingkungan dan merusak ruang hidup masyarakat bahari. “Pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi justru ditambang dengan dalih hilirisasi. Padahal laut dan pulau adalah penopang hidup masyarakat nelayan tradisional,” ujar Susan dalam keterangan tertulis, Selasa, 10 Juni 2025.





