Otoritas Pajak Bongkar Dugaan Pelanggaran Pajak di Sektor Sawit dari Hulu hingga Hilir

foto/istimewa

Sekilas.co – Rentetan bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra mendorong semakin banyak pihak menyoroti dampak masif ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap menyusutnya tutupan hutan. Sorotan tersebut tidak hanya datang dari kalangan pemerhati lingkungan, tetapi juga dari otoritas pajak.

Banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat dinilai tidak bisa dilepaskan dari masifnya penggundulan kawasan hutan di Pulau Sumatra. Situasi itu kian diperparah oleh munculnya siklon tropis Sinyar yang terjadi dalam periode waktu yang hampir bersamaan, sehingga meningkatkan intensitas hujan dan memperbesar risiko bencana hidrometeorologi.

Baca juga:

Dalam diskusi publik bertajuk “Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba” yang digelar pada Kamis (11/12/2025), Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto secara terbuka menyinggung peran Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam menindak berbagai pelanggaran di sektor kehutanan dan pertambangan. Satgas PKH dibentuk atas mandat Presiden Prabowo Subianto dan bekerja berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945.

Bimo, yang juga tergabung sebagai anggota Satgas PKH, menjelaskan bahwa penindakan dilakukan secara menyeluruh dari sisi hulu hingga hilir. Di sektor hulu, perusahaan-perusahaan industri ekstraktif, termasuk perkebunan sawit dan pertambangan, menjadi sasaran utama apabila ditemukan menjalankan aktivitas usaha dengan perizinan yang tidak sesuai ketentuan, meskipun kegiatan eksploitasi tersebut telah berlangsung lama di dalam kawasan hutan.

“Bahkan ada beberapa kawasan hutan lindung dan taman nasional yang mayoritas areanya justru digunakan untuk dieksploitasi, baik untuk perkebunan sawit maupun pertambangan dan aktivitas lainnya. Tesso Nilo, misalnya, perkebunan sawit menutupi sekitar 80 persen area Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Itu sangat menyedihkan sekali,” ujar Bimo dalam forum yang disiarkan melalui kanal YouTube Pusdiklat Pajak, dikutip Minggu (14/12/2025).

Menurut Bimo, praktik alih fungsi kawasan hutan secara masif tersebut berkontribusi besar terhadap kerusakan ekosistem dan berdampak langsung pada masyarakat. Berkurangnya tutupan hutan dinilai meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana alam seperti banjir dan longsor, terutama saat curah hujan tinggi. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang tidak terkendali disebut menjadi salah satu faktor utama meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi di Sumatra.

Tidak hanya di sektor hulu, otoritas pajak juga menemukan dugaan ketidakpatuhan serius di sisi hilir. Bimo mengungkapkan masih maraknya praktik penyelundupan, salah satunya melalui modus underinvoicing, yakni pelaporan nilai transaksi yang lebih rendah dari harga sebenarnya untuk menghindari pembayaran bea masuk, pajak, dan pungutan negara lainnya.

Salah satu temuan besar yang diungkap Direktorat Jenderal Pajak adalah dugaan penghindaran bea keluar ekspor kelapa sawit. Dalam kasus tersebut, ekspor crude palm oil (CPO) dilaporkan sebagai limbah atau produk turunan seperti fatty acid methyl ester (FAME). Melalui skema base erosion and profit shifting (BEPS), sebanyak 87 kontainer CPO dikirim ke luar negeri namun dilaporkan sebagai FAME, sehingga terbebas dari kewajiban bea keluar.

“Kalau di sisi hulu serious non-compliance activity-nya berupa penguasaan kawasan hutan yang seharusnya tidak dimanfaatkan untuk perkebunan atau pertambangan, maka di sisi hilir masih banyak sekali praktik penyelundupan. Penyelundupan yang dalam beberapa kasus seolah-olah dilegalisasi oleh sistem,” tegas Bimo.

Artikel Terkait