Sekilas.co – Sejumlah bank investasi terkemuka di Wall Street memprediksi sektor minyak global akan menghadapi tekanan kuat pada periode 2026–2027. Prediksi tersebut muncul setelah harga minyak dunia terkoreksi hampir 20 persen sepanjang tahun ini.
Dalam outlook yang dirilis tim komoditas JPMorgan di bawah pimpinan Natasha Kaneva, harga minyak mentah Brent pada 2026 diperkirakan turun hingga 58 dolar AS per barel. Adapun West Texas Intermediate (WTI) diproyeksikan berada sekitar 4 dolar AS lebih rendah dari level tersebut.
1. JPMorgan: Surplus produksi jadi ancaman utama
JPMorgan menekankan bahwa persoalan pasokan yang berlebihan masih membayangi pasar minyak. Para analis bank tersebut, dikutip dari Yahoo Finance, menyatakan bahwa meskipun konsumsi energi tetap tinggi, peningkatan pasokan terus menekan harga.
Untuk tahun 2027, WTI diperkirakan kembali lebih rendah sekitar 1 dolar AS dibanding Brent. JPMorgan bahkan menyebut ada risiko Brent anjlok ke level 30 dolar AS per barel apabila pasar tidak mengalami stabilisasi, angka yang terakhir tercatat saat kejatuhan harga minyak pada masa awal pandemi COVID-19.
2. Goldman Sachs: Pemulihan baru terjadi setelah 2027
Goldman Sachs ikut memperkirakan harga yang relatif lemah dalam jangka menengah. Bank tersebut melihat Brent pada 2026 akan berada di kisaran 56 dolar AS per barel, sementara WTI sekitar 52 dolar AS.
Namun berbeda dengan JPMorgan, Goldman memperkirakan ada peluang pemulihan pada 2027 seiring keseimbangan pasar yang membaik, menurunnya umur cadangan minyak, pertumbuhan permintaan yang tetap kuat, serta mulai melambatnya produksi shale di Amerika Serikat.
Goldman bahkan memproyeksikan bahwa pada 2028, Brent bisa kembali menguat menuju 80 dolar AS per barel dengan WTI berada di sekitar 76 dolar AS, dengan catatan surplus pasokan tidak kembali mendominasi pasar.
3. Supply berlebih terus membesar hingga 2026
Kelebihan suplai diperkirakan tetap menjadi isu besar. Produksi OPEC+ dilaporkan terus meningkat sejak April, menambah pasokan lebih dari 2 juta barel per hari. Tambahan produksi dari shale AS juga diprediksi mencapai rekor baru pada akhir tahun.
China tercatat menyerap pasokan berlebih dengan membeli jutaan barel per hari selama paruh pertama 2025, sementara permintaan dari Timur Tengah dan India tetap solid, termasuk pembelian minyak Rusia jenis Urals yang semakin tinggi.
Meski begitu, data tanker menunjukkan lebih dari 1 miliar barel minyak tersimpan di laut, angka tertinggi sejak 2023. International Energy Agency (IEA) memperkirakan potensi surplus mencapai 4 juta barel per hari pada 2026.
Menurut Macquarie, kondisi ini dapat memicu penurunan harga yang lebih dalam dan memaksa OPEC menata ulang kebijakan produksinya.
4. Penyesuaian produksi dianggap tak terhindarkan
Dalam analisis gabungan, JPMorgan dan Goldman Sachs menilai pasar pada akhirnya harus menyesuaikan keseimbangan antara suplai dan permintaan. Investasi yang rendah selama 15 tahun terakhir membuat kemampuan produksi non-OPEC rentan ketika harga turun.
JPMorgan memperkirakan pemangkasan produksi, baik secara sukarela maupun terpaksa, akan menjadi mekanisme koreksi alami pasar. Harga yang lebih rendah juga diyakini akan meningkatkan konsumsi, sehingga bertahap mengurangi surplus.





