sekilas.co – MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus bisa melampaui angka 5 persen apabila ingin mencapai level 8 persen dalam jangka menengah. Dia pun menyoroti negara-negara Asia yang berhasil mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan transformasi ekonomi.
Menurut Purbaya, sejumlah negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan melakukan transformasi ekonomi dari berbasis agrikultur menuju berbasis manufaktur, dan kemudian menjadi berbasis jasa. “Negara seperti Tiongkok, Korsel, dan Jerman konsisten mempertahankan basis manufaktur mereka,” kata Purbaya dalam Prasasti Luncheon Talk di Jakarta, dikutip dari siaran pers Prasasti Center for Policy Studies, Jumat, 10 Oktober 2025.
Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebutkan, sembari sektor pertanian tetap dijaga, upaya transformasi menuju sektor manufaktur terutama yang berteknologi tinggi tidak boleh terhenti. Sehingga, semua program yang bertujuan mempercepat proses transformasi itu menjadi fokus strategi dari pemerintah.
Selain itu, Purbaya meyakini bahwa angka pertumbuhan ekonomi 6-6,5 persen bisa dicapai selama setahun ke depan bila pemerintah dan sektor swasta saling bersinergi. Pemerintah berperan menyiapkan iklim usaha yang kondusif, memperbaiki regulasi, dan mempercepat realisasi anggaran serta belanja kementerian/lembaga.
“Kita sudah mulai dengan membentuk tim akselerasi percepatan ekonomi, untuk menyelesaikan bottleneck investasi,” ucap Purbaya.
Pemerintah sendiri telah meluncurkan paket stimulus ekonomi 8+4+5 yang terdiri atas delapan program akselerasi pembangunan pada 2025, empat program lanjutan pada 2026, dan lima program andalan untuk penyerapan tenaga kerja. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani berpendapat bahwa stimulus tak boleh habis untuk konsumsi.
Menurut Shinta, stimulus yang dikucurkan pemerintah juga harus memicu investasi swasta. Dia pun membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku usaha. “Dunia usaha hari ini menghadapi high-cost yang luas dan menyeluruh. Biaya berbisnis kita jauh lebih mahal dibanding negara tetangga, seperti biaya logistik, biaya energi, hingga biaya kepatuhan dari birokrasi,” ucap Shinta kepada Tempo pada Rabu, 17 September 2025.





