Dampak Cukai Rokok bagi Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat

foto/istimewa

Sekilas.co – Sebagian besar ekonom dan aktivis kesehatan publik dalam beberapa bulan terakhir mendesak pemerintah agar menaikkan tarif cukai rokok. Dorongan itu lahir dari dua alasan utama: pertama, untuk menekan angka konsumsi rokok yang dinilai sudah sangat tinggi, terutama di kalangan masyarakat miskin; kedua, untuk menambah penerimaan negara yang setiap tahun semakin membutuhkan sumber pendanaan baru.

Namun, di tengah desakan yang cukup kuat tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru memilih langkah berbeda. Ia secara tegas menolak usulan kenaikan cukai rokok untuk tahun 2025.

Baca juga:

Keputusan ini langsung memicu diskusi hangat di ruang publik. Sebagian pihak menilainya sebagai bentuk keberanian politik karena berani keluar dari arus mayoritas, tetapi tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai keputusan kontroversial, mengingat Indonesia sedang menghadapi tekanan fiskal serta harus menjalankan agenda kesehatan nasional. Sektor fiskal tembakau memang selalu menjadi medan tarik-menarik dua kepentingan besar: ekonomi dan kesehatan.

Dari sisi ekonomi, kontribusi cukai rokok bagi penerimaan negara sangat besar. Pada 2024, nilainya mencapai sekitar Rp216 triliun, bahkan melampaui total dividen BUMN kepada negara. Angka ini menunjukkan betapa strategisnya rokok sebagai sumber pendapatan.

Namun, dari sisi kesehatan, tingginya konsumsi rokok terus menjadi masalah serius. Rokok tidak hanya menyebabkan beban kesehatan yang besar, tetapi juga menimbulkan dampak sosial, terutama karena mayoritas perokok berasal dari kelompok berpenghasilan rendah.

Dalam kondisi seperti itu, keputusan Menkeu Purbaya untuk menahan kenaikan tarif cukai pada 2025 menempatkannya di tengah badai dua kepentingan. Di satu sisi, ia ingin menjaga daya beli masyarakat kecil serta stabilitas industri tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja. Di sisi lain, ada kewajiban pemerintah untuk mendukung agenda kesehatan publik yang menuntut penurunan angka konsumsi rokok.

Sejak masa Sri Mulyani, arah kebijakan fiskal di sektor tembakau memang mulai bergeser. Tidak hanya mengejar penerimaan negara, tetapi juga dipakai sebagai instrumen pengendali konsumsi. Namun, Purbaya melihat persoalan ini dari sudut pandang berbeda. Ia berpendapat bahwa kenaikan tarif yang dilakukan terus-menerus bisa berdampak buruk. Bukan hanya menekan daya beli masyarakat, tetapi juga meningkatkan risiko peredaran rokok ilegal yang justru merugikan negara.

Karena itu, menurutnya, pemerintah harus menjaga keseimbangan antara penerimaan fiskal, keberlanjutan industri, dan perlindungan lapangan kerja. Apalagi, kondisi ekonomi saat ini belum sepenuhnya pulih. Data BPS menunjukkan, inflasi pangan masih tinggi, sementara konsumsi rumah tangga belum kembali ke level normal. Dalam situasi seperti ini, kenaikan cukai dianggap bisa memperberat beban masyarakat kecil yang ekonominya sudah rapuh.

Sektor tembakau sendiri punya posisi istimewa dalam struktur perekonomian Indonesia. Data Kementerian Perindustrian tahun 2023 menunjukkan, industri ini melibatkan lebih dari 5,98 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Lebih jauh, ekspor hasil tembakau pada 2024 mencapai 1,85 miliar dolar AS, naik signifikan 21,71 persen dari tahun sebelumnya. Angka itu menunjukkan bahwa industri rokok bukan hanya penopang penerimaan domestik, tetapi juga berperan dalam perdagangan internasional.

Bagi Menkeu Purbaya, melindungi industri ini bukan sekadar soal menjaga angka pertumbuhan ekonomi, melainkan juga menjaga dimensi sosial. Kebijakan fiskal, menurutnya, harus sensitif terhadap struktur lapangan kerja, terutama di daerah-daerah penghasil tembakau seperti Kudus, Temanggung, dan Lumajang.

Di wilayah-wilayah ini, denyut ekonomi lokal sangat bergantung pada keberlangsungan pabrik rokok. Jika cukai naik terlalu tinggi, industri kecil dan menengah di sektor ini bisa terpukul hebat, dan jutaan keluarga yang hidup dari industri tembakau terancam kehilangan sumber penghasilan.

Dengan demikian, keputusan Purbaya untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2025 bisa dipahami sebagai pilihan kompromi yang rumit. Ia berusaha menyeimbangkan dua agenda besar yang saling bertolak belakang: kebutuhan fiskal dan kesehatan publik. Rokok, sekali lagi, membuktikan dirinya selalu berada di persimpangan antara ekonomi dan kesehatan, dua kepentingan nasional yang sama-sama krusial.

Artikel Terkait