Sekilas.co – CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, menilai penerapan kembali insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100 persen untuk sektor properti pada tahun 2026 merupakan langkah penting yang dapat memberikan kepastian bisnis bagi para pengembang perumahan. Menurutnya, keberlanjutan insentif ini akan menjadi sinyal positif, sekaligus menciptakan ruang gerak yang lebih leluasa bagi perusahaan properti untuk merencanakan pembangunan proyek secara jangka panjang.
Ali menegaskan, kepastian tersebut sangat dibutuhkan pelaku industri. Ia mencontohkan bahwa pada periode sebelumnya, kebijakan PPN DTP hanya diberlakukan dalam jangka waktu enam bulan (Januari–Juni 2025), kemudian baru diperpanjang hingga akhir tahun. Mekanisme seperti ini, katanya, justru menimbulkan keraguan di kalangan pengembang mengenai konsistensi pemerintah dalam mendukung sektor perumahan. “(Kepastian) ini yang diharapkan. Kalau kebijakan hanya bersifat sementara, wajar jika menimbulkan keraguan. Karena itu, penerapan PPN DTP hingga akhir 2026 memberi kepastian yang lebih kuat,” jelasnya dalam wawancara dengan ANTARA di Jakarta, Minggu (28/9).
Ia juga optimistis bahwa pemberlakuan insentif hingga akhir 2026 akan memberikan dampak signifikan bagi pasar properti. Tidak hanya pengembang, konsumen pun diprediksi akan semakin tertarik memanfaatkan insentif tersebut. “Data menunjukkan setiap periode, insentif PPN DTP ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan penjualan rumah, terutama unit-unit ready stock yang langsung bisa dihuni,” ungkap Ali.
Namun, ia mengingatkan bahwa insentif PPN DTP tidak serta-merta menjamin keberhasilan tanpa dukungan kesiapan dari pihak pengembang. Ketersediaan rumah ready stock, lanjutnya, membutuhkan modal yang cukup besar agar pengembang mampu menyediakan unit-unit siap huni dalam jumlah memadai. “Meskipun kebijakan ini positif, para pengembang tetap harus siap dengan permodalan yang kuat. Jangan sampai ada insentif, tapi stok rumah yang ditawarkan terbatas,” jelasnya.
Selain kesiapan pengembang, Ali juga menekankan pentingnya peran perbankan dalam memastikan insentif tersalurkan secara tepat sasaran. Menurutnya, mekanisme pengawasan harus dilakukan secara ketat, mulai dari pengembang hingga lembaga keuangan, agar kebijakan ini benar-benar menyentuh konsumen yang membutuhkan hunian. “Dalam hal pengawasan, harusnya sudah dilakukan sejak awal, baik dari sisi pengembang maupun perbankan, agar PPN DTP ini tidak salah sasaran,” tegasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa insentif PPN DTP 100 persen berlaku penuh untuk pembelian rumah atau properti baru siap huni dengan harga jual maksimal Rp2 miliar. Untuk properti dengan harga Rp2 miliar–Rp5 miliar, pembebasan pajak hanya berlaku pada porsi harga pertama sebesar Rp2 miliar, sedangkan sisanya tetap dikenakan tarif normal sesuai ketentuan yang berlaku.
Fasilitas ini diberikan tidak hanya kepada Warga Negara Indonesia (WNI), tetapi juga kepada Warga Negara Asing (WNA) sepanjang memenuhi ketentuan kepemilikan properti di Indonesia. Namun, pemerintah tetap memberikan sejumlah batasan untuk menjaga efektivitas kebijakan. Insentif hanya berlaku untuk pembelian satu unit hunian, tidak bisa digunakan untuk membeli lebih dari satu unit, tidak berlaku untuk pembayaran uang muka yang dilakukan sebelum kebijakan mulai berlaku, serta tidak berlaku jika properti tersebut dijual kembali dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Dengan berbagai aturan tersebut, PPN DTP 2026 diharapkan tidak hanya memberi dorongan nyata pada penjualan rumah, tetapi juga menghadirkan kepastian usaha bagi pengembang, menjaga kredibilitas pasar, dan melindungi konsumen dari potensi penyalahgunaan kebijakan. Bagi para pelaku industri properti, keberlanjutan insentif ini dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah berkomitmen mendukung pemulihan sektor properti sekaligus memperkuat kontribusinya bagi perekonomian nasional.





